Selasa, 19 Mei 2015


Nama lengkapnya adalah Abu Dzar al-Ghifari namun ia lebih akrab dipanggil dengan sebutan Abu Dzar, beliau adalah salah seorang sahabat Rasulullah yang berasal dari luar kota Mekah. Laki-laki itu adalah salah seorang penduduk pinggiran kota Yatsrib atau yang saat ini lebih dikenal dengan nama Madinah. Tidak seperti kebanyakan sahabat Rasulullah, Abu Dzar memiliki masa lalu yang kelam. Namun demikian, latar belakangnya yang seorang perampok, tidak menghalanginya untuk mendapat cahaya illahi, mereguk indahnya kehidupan menjadi seorang muslim.

Pada masa awal Muhammad SAW diangkat menjadi nabi, terdapatlah sebuah kaum Bani Ghifar yang anggota kelompoknya adalah para perampok dan orang-orang kafir, didalam para anggota perampok tersebut, terdapatlah seseorang yang bernama Abu Dzar. Tidak seperti sahabat-sahabat perampoknya yang lain, walau Abu Dzar adalah seorang perampok tapi ia percaya akan nilai-nilai islam yang dibawa oleh seorang Muhammad. Lelaki itu meyakini akan keesaan Allah dan kenabian Muhammad SAW.
Masuknya Abu Dzar sebagai seorang muslim, diawali dengan tersebarnya kabar tentang diutusnya Muhammad sebagai seorang Rasul dikota Yatsrib. Berita ini tersebar melalui perantara lisan Suwaid bin Shamit dan Iyas bin Mu’adz. Seketika setelah ia mendengar kabar tersebut berkatalah seorang abu Dzar; “Aku adalah seorang lelaki dari wilayah Ghifar. Telah sampai kepadaku tentang seseorang  di Mekah yang mengaku Nabi, lalu aku berkata kepada saudaraku, “pergilah kepadanya dan ajaklah ia berbicara, lalu kembalilah dengan membawa kabar tentang dia.”
Sekembalinya saudara dari abu Dzar dalam mencari tahu tentang sang Nabi, berkatalah orang tsb. “Demi Allah, Aku menemukan seorang laki-laki yang memerintahkan kepada kebaikan dan melarang dari keburukan”. Namun, informasi sebatas itu tentang sang Nabi, belum memuaskan keingintahuan Abu Dzar yang tinggi terhadap sosok Rasulullah, kemudian Abu Dzar memutuskan untuk mencaritahu sendiri sosok sang Rasul dengan mendatanginya langsung ke kota Mekah. Dalam perjalanannya menemui sang Nabi, Abu Dzar singgah beberapa kali di sebuah mesjid. Namun pada hari pertama, tak ditemuinya seorangpun kecuali sesosok remaja yang kelak dikenalnya bernama Ali, pada hari pertama, Ali mengajak Abu Dzar untuk menginap dirumahnya. Esok harinya, Abu Dzar kembali berdiam di mesjid, namun ia tak jua menemukan sosok lain kecuali Ali. Hingga Ali pun bertanya apakah gerangan tujuan dari perjalanan Abu Dzar. Setelah Abu Dzar mengemukakan alasannya pergi ke Mekah untuk belajar islam dan mencari tahu langsung sosok sang Nabi, Ali pun membantunya untuk bertemu langsung dengan sosok sang Rasul.

Berkatalah Abu Dzar; “Jika benar engkau seorang Rasul utusan Allah, yang membawa nilai-nilai kebaikan, maka jelaskanlah kepadaku ajaran apa yang engkau bawa, beritahu aku tentang agama yang kau anut”. Beliau SAW lantas menjelaskan tentang Islam dan pada saat yang bersamaan, Abu Dzar langsung meyakini kebenaran ajaran yang dibawa Rasullah. Lelaki itu masuk Islam. Sebuah pesan dari Rasulullah sedetik setelah masuknya Abu Dzar ialah agar Abu Dzar segera kembali ke negerinya dan jika telah sampai kabar tentang kemenangan islam maka Abu dzar berhak untuk kembali ke tanah Mekah.

Dalam perjalanan pulang ke negerinya, Abu Dzar singgah ke sebuah mesjid yang didalamnya terdapat orang-orang Quraisy. Latar belakangnya yang seorang perampok, membuatnya tidak takut pada manusia. Lantas, dengan lantang ia mengumumkan keislamannya dihadapan para Quraisy tsb. “Wahai Quraisy! Saksikanlah bahwasannya hari ini aku bersaksi tiada Tuhan selain Allah dan Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah!”. Seketika itu juga, para Quraisy mengepung dan memukuli Abu Dzar agar ia mati. Bagi Quraisy, lelaki itu adalah pengkhianat agama mereka sebelumnya. Namun bersyukurlah, nyawa Abu Dzar dapat diselamatkan dengan kehadiran Al-Abbas yang segera melindunginya ketika melihat peristiwa tsb. Akhirnya, Abu Dzar pun selamat kembali ke negerinya.
SesampainyaAbu Dzar pada kaumnya, dia segera menyampaikan apa-apa yang ia dapati dari Rasulullah. Namun demikian, tak jua menjadikan Abu Dzar melupakan sisa-sisa kejahiliyahannya, Abu dzar tetap menjadi perampok para musafir, uniknya, ia merampok terutama pada kafilah-kafilah kaum Quraisy dan lelaki itu menjanjikan untuk mengembalikan barang rampokannya dengan prasyarat korbannya bersedia bersaksi atas keesaan Allah dan kenabian Muhammad SAW.

Bertahun-tahun pun berlalu, tiba saatnya Abu Dzar kembali ke tanah Mekah dan hidup bersama sang nabi beserta sahabat-sahabat nya yang lain, menyampaikan syiar Islam dan mengamalkan ajaran-ajarannya. Namun demikian, hidup membersamai sang Nabi, tak menjadikan Abu Dzar benar-benar lupa akan sifat aslinya pada zaman jahiliyah. Keberaniannya sebagai perampok dan kejujurannya dalam menyampaikan apa-apa yang dianggapnya benar, membuatnya terkadang bersikap berlebihan.
Suatu ketika, terjadilah silang pendapat antara Abu Dzar dan Bilal akan sesuatu hal. Abu Dzar mengatakan bahwa apa-apa yang disampaikannya adalah yang benar. Namun, Bilal berpendapat sebaliknya. Lantas, tanpa tedeng aling-aling (dalam bahasa Jawa), sifat asli Abu Dzar pun muncul, menyeruak dalam adu mulut tersebut. Berkatalah dengan lantang sang Abu Dzar “engkau ini duhai Bilal! Hanyalah seorang budak lagi hitam kelam!”. Melihat hal ini, Bilal merasa, hal tersebut tidak pantas dikatakan oleh orang seperti Abu Dzar. Bilal melihat, walau memang, latar belakang seorang Abu Dzar adalah seorang perampok tak menjadikannya mendapatkan pemakluman yang tanpa batas dari lingkungannya saat ini, harus ada perbedaan sikap sebelum dan setelah keislaman. 
Lantas, Bilal pun mengadukan hal ini kepada sang Rasul. Menanggapi hal tersebut, Rasulullah pun berkata; “untukmu duhai Bilal, engkau berhak untuk menginjak kepala sang Abu Dzar, sebagai hukuman baginya atas sikapnya yang berlebihan padamu”. Bukan karena Rasul tidak sayang, maka Rasul bersikap demikian. Justru karena Rasul terlalu sayang, oleh karenanya ia berlaku demikian. Rasul hanya tidak ingin, Abu Dzar tetap terbiasa dengan kebiasaan jahiliyahnya pada masa setelah keislamannya. Pun nyatanya, Bilal tak hendak melakukan hal tersebut pada sahabat seimannya. Bilal hanya ingin Abu Dzar tidak terus menerus melakukan apa-apa yang dianggapnya benar tanpa adanya teguran dan hukuman.

Sebuah hikmah tersendiri, bagi saya untuk kembali memahami sosok Abu Dzar Al-Ghifari, masa lalunya yang kelam dan kurang menguntungkan tak menjadikannya kesulitan dalam menerima cahaya kebenaran yang disampaikan oleh sang Nabi SAW. Belajar memahami latar belakang orang lain dalam berdakwah akan membuat kita semakin memaklumi perbedaan sifat dan pendapat orang lain terhadap kita.
“Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi yang berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui.” (QS. Ar-Rum [30] : 22)
Namun demikian, Rasulullah pun mengajarkan pada kita dalam penggal kisah diatas bahwasannya; tiada kasih sayang dengan pemakluman yang tanpa batas. Tiada persaudaraan tanpa teguran dalam kesalahan dan kekeliruan. Maka dalam hal ini, teringatlah saya pada sebuah perkataan dari seorang Imam Syafi’i; “Kalaulah saja, seluruh kandungan Alqur’an itu berisikan surah Al-Ashr, maka hal itu telah cukup sebagai pedoman  hidup manusia”
“Demi Masa! Sungguh, manusia berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan serta saling nasihat menasihati untuk kebenaran dan saling menasihati untuk kesabaran” [Q.S. 103:1-3]
Ya, sesungguhnya, umat manusia itu ialah golongan yang merugi. Kecuali; mereka yg beriman&mengerjakan kebajikan. Serta saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran. 

Benar saja tidak cukup, selanjutnya setelah menyampaikan kebenaran haruslah di iringi dengan kesabaran.
“Sabar itu adalah; 
mendahulukan keridhaan Allah dibandingkan dengan kemauan diri kita sendiri”
[Ys. Gunawan, 2012 ka. SALAM UI i5]

Namun selanjutnya, berkatalah lagi sang Imam Syafi’i; “Ingatkan aku jika memang aku keliru, tapi tidak dalam keramaian karena akupun masih punya rasa malu.”
Jika saja bukan karena kasih sayang; tentu tiada teguran yang diucapkan orangtua pada kita sewaktu kita kecil atas kelalaian kita mengerjakan kewajiban-kewajiban. Jika saja bukan karena kasih sayang, tentu tiada cubitan yang dilayangkan orangtua kepada kita ketika kita bertengkar dengan saudara sekandungan (adik/kakak). Jika saja, bukan karena teguran dan cubitan itu tentu kita tidak akan tahu bahwa melalaikan kewajiban itu salah, bahwa bertengkar dengan sang adik itu keliru. Namun teguran dan cubitan itu pun ada batasnya, ada aturannya. Wallahu a’alam. 
Sumber Inspirasi:
Alqur’anul karim
Muhammad, Kisah Hidup Nabi Berdasarkan Sumber Klasik. Karya Martin Lings.
Sirah Nabawiyah; Sejarah Shahih nabi Muhammad SAW dari Sebelum Lahir Sampai Sesudah Wafat karangan Syaikh Shafiyyurrahman Al-Mubarakfury.
Bumi Allah, 22 Juni 2012

0 komentar:

Posting Komentar